DEKONSTRUKSI FAHRI HAMZAH (BAGIAN 2)
2. Fahri tidak menyangka bahwa sikapnya mengulur waktu (buying time)
dan meremehkan arahan Pimpinan akan berujung pada sidang BPDO
(11/1/2016). Publik juga kaget, menyangka belum pernah terjadi
sebelumnya, petinggi PKS diperiksa loyalitas dan kedisiplinannya.
Kenyataannya, sejak masa kepengurusan Partai Keadilan (1998-2003),
penegakan disiplin sudah berjalan untuk kader di semua level. Tinggal
dibuka saja arsipnya.
Fahri memprotes
BPDO karena dakwaan atas dirinya dinilai mengada-ada. Menurut catatan
Fahri sendiri, pertama, ia didakwa melawan keputusan partai terkait
revisi UU KPK, karena mengeluarkan pernyataan di media yang berbeda
dengan keputusan Partai. Kedua, Fahri didakwa mempermainkan pemimpin
Partai karena sebelumnya menyatakan diri bersedia mundur namun kemudian
menolak. Ketiga, Fahri didakwa melakukan pembangkangan dan makar secara
masif, sistematis dan terstruktur karena menolak mengundurkan diri
dengan memobilisasi dan membuat gerakan yang melibatkan kekuatan
internal kader dan eksternal untuk melawan Pimpinan Partai. Fahri
menolak semua dakwaan itu dalam pemeriksaan tertulis yang dijawab
seadanya dan pemeriksaan lisan yang direspon sambil lalu. Kepada publik,
Fahri mengabarkan sedang memperjuangkan hak-hak pribadinya, tetapi
dalam forum resmi Fahri menyia-nyiakan kesempatan untuk berargumentasi.
Fahri membangun
imaji bahwa BPDO hanya menjadi ‘alat kekuasaan’ kelompok tertentu di
tubuh PKS. Peraturan baru disusun hanya untuk mengadili dirinya. Semua
pengurus berkomplot untuk mencopot dirinya dari jabatan publik yang
sudah diraihnya dengan susah-payah. Fahri mengalami disorientasi, dia
tidak bisa memandang dinamika organisasi dengan jernih, karena merasa
agenda yang sedang diperjuangkannya terancam dengan kebijakan baru PKS.
Kemungkinan Fahri memiliki kepentingan yang tidak sejalan dengan agenda
PKS. Padahal seluruh anggota Fraksi PKS semestinya merupakan
perpanjangan kebijakan Partai yang mengelola aspirasi publik.
Para pengamat dan pewarta yang obyektif, silakan menilai: apa kepentingan Fahri di balik sikapnya yang ngototmendukung
pembangunan gedung dan pemberian fasilitas anggota DPR RI, menerima
revisi UU KPK, dan mendukung posisi Setya Novanto dalam skandal Freeport Gate serta
menyerang MKD yang dipimpin sesama kader PKS (Surahman Hidayat)? Itu
baru sebagian kecil dari sikap Fahri yang secara terbuka bertentangan
dengan sikap PKS. Fahri tidak pernah bisa menjelaskan alasannya secara
masuk akal, kecuali klaim bahwa ‘segala pernyataan dan sikapnya
dilindungi konstitusi’. Narasi besar taat pada konstitusi negara
dijadikan tameng Fahri untuk melecehkan AD/ART Partai. Padahal, silakan
ditakar semua pernyataan dan sikap Fahri selama ini dari sisi: bobot
konstitusionalitas dan kepentingan publiknya, seberapa besar? Tak ada
yang tahu, karena Fahri juga tidak pernah memberikan laporan kepada
Pimpinan PKS.
Sebenarnya
persoalan bisa selesai di tingkat BPDO, jika Fahri menggunakan semua
haknya dalam menjalani prosedur pemeriksaan. Tapi, Fahri sudah
berpikiran negatif tentang BPDO, sebagaimana ia memandang enteng arahan
Pimpinan PKS.
3. Sebagai
konsekuensi dari sikap Fahri yang meremehkan pemeriksaan BPDO, maka
kasus dilanjutkan ke Majelis Qadha. Pada tingkat ini, persoalan jadi
serius, bagi pihak yang memahami logika Partai Kader. Substansi
pemeriksaan bukan lagi masalah kedisiplinan, melainkan komitmen kepada
nilai-nilai dasar kepartaian.
Sebagaimana
Partai Golkar mengenal doktrin “Karya Siaga Gatra Praja” dan paradigma
baru di masa reformasi, lalu PDIP mengenal ideologi Pancasila versi Bung
Karno (1 Juni 1945) dan doktrin Marhaenisme sebagai representasi
perjuangan wong cilik, maka partai-partai lain pun punya kerangka nilai
perjuangan tersendiri, termasuk PKS menjalankan platform perjuangan
Partai Dakwah dalam bingkai NKRI. Nilai-nilai dasar PKS sejalan dengan
Pancasila dan UUD RI (yang sudah diamandemen sepanjang era reformasi).
Penegakan disiplin organisasi menurut AD/ART PKS tidak bertentangan
dengan hukum positif nasional. Bahkan, bisa dipahami bila Partai sebagai
pilar utama demokrasi, maka disiplin kepartaian menjadi modal dasar
bagi peningkatan kualitas demokrasi. Publik yang waras akan
berpandangan, apabila seorang kader partai tidak mengindahkan disiplin
organisasinya sendiri dalam skala mikro, maka bisakah diyakini dia akan
menjalankan disiplin/norma publik dalam lingkup makro saat menjadi
pejabat negara?
Fahri masih
mempertanyakan dakwaan yang diajukan BPDO kepada dirinya dan meminta
pedoman tentang pemberian penghargaan dan sanksi, serta tata cara
penegakan disiplin organisasi. Materi persidangan Majelis Qadha yang
disampaikan secara langsung tidak diperhatikannya. Fahri tidak bisa
menjelaskan sikap dan pernyataan kontraversial dalam forum resmi
organisasi. Ia lebih suka melayani pertanyaan media, memprovokasi
forum-forum publik dengan berbagai isu populis untuk menutupi persoalan
yang sedang dihadapi, dan berceloteh via media sosial (@Fahrihamzah).
Disamping itu, Fahri mengklaim sebagai pendiri PKS (sic) dan tidak layak diberi sanksi pelanggaran berat.
Salah satu
dalil yang dikutip Fahri untuk merasionalisasi sikap perlawanannya
terhadap Pimpinan PKS berasal dari pemikir Islam (al-Banna): “Yang saya
maksud dengan tsiqah adalah
rasa puasnya seorang prajurit atas komandannya dalam hal kemampuan dan
keikhlasan, dengan kepuasan mendalam yang dapat menumbuhkan rasa cinta,
penghargaan, penghormatan dan ketaatan.” (Risalah Pergerakan,
terjemahan Jilid I: 316, 2007). Fahri hendak menarik simpati kader PKS
yang tidak mengikuti latar belakang masalah dengan jelas.
Padahal secara
tersirat, Fahri mengungkapkan bahwa ia tidak puas/percaya dengan
kemampuan dan keikhlasan kepemimpinan baru PKS di bawah Salim Segaf dan
Sohibul Iman. Mengapa Fahri tidak berterus-terang? Katanya dia berasal
dari suatu daerah/suku yang menghargai keterus-terangan? Mengapa dia
tidak mengungkapkan ‘ketidakpuasan’ (baca: ketidakpercayaan) itu kepada
yang bersangkutan? Fahri kemudian membanding-bandingkan masa
kepemimpinan Hilmi Aminuddin dengan Salim Segaf dan kenegarawanan Anis
Matta versus Sohibul Iman. Lebih jauh, Fahri membangun ilusi bahwa
Pimpinan PKS telah ditekan oleh pihak eksternal, bahkan PKS disusupi
agen intelijen yang membocorkan rahasia organisasi, dan elite PKS
menyembunyikan kasus yang tidak ingin diketahui publik. Fahri menutupi
sikap bancinya dengan kampanye telah dizalimi oleh PKS dan menuntut
keadilan di depan hukum nasional.
Bagi Fahri,
ikrar yang wajib dipahami dan dipegang Anggota/Kader PKS sebagaimana
tercantum dalam ART (Pasal 6, ayat 1) tidak bermakna sama sekali. Ikrar
itu, “Saya berjanji untuk senantiasa berpegang teguh kepada Anggaran
Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan peraturan Partai Keadilan Sejahtera,
serta setia kepada pimpinan Partai”, cuma jadi meme indah di media
sosial.
4. Setelah
putusan Majelis Qadha, ada kesempatan terakhir Fahri untuk melakukan
pembelaan di Majelis Tahkim (18/2/2016). Namun, Fahri menyibukkan diri
dengan agenda parlemen dan tidak menyediakan waktu cukup untuk
berkontemplasi. Ia menggugat legalitas MT sebagai mahkamah partai yang
dibentuk berdasarkan UU Partai Politik, sembari mengingatkan MT agar
menghormati kemerdekaan dirinya dalam memperoleh informasi terkait
masalah yang didakwakan, dengan mengutip pasal-pasal dalam konstitusi
tentang HAM. Fahri menyampaikan dalam suratnya, “Jika panggilan
panggilan Majelis Tahkim hanya untuk mempercepat prasyarat tiga kali
pemanggilan, maka saya menyatakan tidak akan hadir karena saya tidak
menemukan Majelis Tahkim sebagai tempat yang tepat untuk mendapatkan
keadilan.” Selain kasus Fahri, Majelis Tahkim PKS juga menangani
beberapa kasus pelanggaran berat. Proses penegakan disiplin tak bisa
ditunda atau dibatalkan karena menunggu keberanian seseorang untuk
memenuhi komitmennya sendiri. Penegakan disiplin berlaku bagi siapa
saja, tanpa diskriminasi.
Dengan segala
pesona retoriknya, Fahri berupaya mendekonstruksi tatanan PKS: ketaatan
pada pemimpin tidak boleh menabrak aspirasi publik, disiplin dalam
berorganisasi tidak mengekang hak anggota, prosedur pemberian sanksi
Partai tidak bisa bertentangan dengan hukum negara, dan seterusnya.
Pernyataan Fahri terdengar heroik, tindakannya dinilai para pemujanya
sebagai keberanian dan terobosan untuk mendewasakan PKS. Padahal
kenyataannya, Fahri sedang mendekonstruksi dirinya sendiri: tak ada
loyalitas pada Partai dan Pimpinan Partai, tidak seorangpun yang
dipercaya Fahri bisa mengarahkan dirinya; tidak Hilmi Aminuddin, tidak
juga Salim Segaf. Patut dicatat, kedua tokoh senior PKS itu memberikan
kesaksian dalam Majelis Tahkim yang diragukan legalitasnya oleh Fahri.
Anis Matta memberikan keterangan tambahan di luar sidang MT.
Watak asli
Fahri terlihat saat menggugat PKS secara perdata di pengadilan negeri
dengan tuntutan denda Rp 500 miliar untuk kerugian material dan
immaterial. Untuk biaya pengacara, Fahri mencadangkan Rp 1 miliar.
Bahkan, di saat proses mediasi disarankan Hakim PN Jaksel, Fahri
menggugat tiga tokoh PKS (Sohibul Iman, Surahman Hidayat, dan Hidayat
Nurwahid) ke MKD DPR RI (29/4/2016). Fahri benar-benar memanfaatkan
posisi politik untuk mempertahankan kedudukan sebagai Wakil Ketua DPR RI
dengan segala fasilitasnya, sambil menyerang orang-orang yang dipandang
memusuhinya.
Siapa yang mengenal track record Fahri,
tak merasa aneh dengan pemecatannya dari anggota PKS. Ini bukan kasus
pertama yang dialami Fahri. Saat memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI) di masa reformasi (1998), Fahri dilengserkan di
tengah jalan, sebelum tuntas masa jabatannya. Para aktivis dan alumni
KAMMI harus membongkar kembali sejarah organisasi dengan obyektif dan
komprehensif, agar tidak terjebak agitasi dan narasi kosong para
demagog.
Fahri memang
tercatat sebagai pendiri PK (1998), tapi jelas bukan pendiri PKS (2003).
Dalam daftar pendiri PK, tercantum nama Salim Segaf al-Jufri di nomor 1
dan Fahri nomor 7 dari 50 anggota dewan pendiri. Dulu mereka pernah
bersama, tapi kini Fahri memilih jalan berbeda.
Sumber ; Selasar.com
Komentar
Posting Komentar