DEKONSTRUKSI FAHRI HAMZAH (BAGIAN 1)

Kancah perpolitikan Indonesia diwarnai gejolak internal partai. Bukan hal baru, namun menarik karena sekarang melibatkan partai yang selama ini dikesankan solid (PKS) dan figur pembetot atensi publik: Fahri Hamzah (mantan Wakil Ketua DPR RI, de jure). PKS telah mencabut status keanggotaan Fahri, dengan alasan melanggar disiplin organisasi. Akibat selanjutnya, jabatan publik yang didudukinya harus segera digantikan, kecuali jika Fahri bisa tetap menjabat dengan status non-partai atau bergabung dengan fraksi lain. Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tak mengatur hal itu.


Sebagaimana diperkirakan pengamat, Fahri melawan. Cocok dengan watak pribadinya, yang dengan bangga menyebut diri sebagai wakil rakyat dari NTB. Dengan kemampuan retorikanya, Fahri membangun imaji publik berdasar fakta terserak dan informasi yang dibingkai sendiri. Ia mengkritisi celah dalam prosedur internal PKS yang sulit ditembus media, berbeda dengan konflik di partai lain yang relatif lebih vulgar.
Puncak perlawanan Fahri adalah gugatan perdata di PN Jakarta Selatan (27/4). Fahri menyatakan diri sebagai warga negara yang taat hukum dan hendak menguji betapa putusan PKS bertabrakan dengan hukum nasional. Secara khusus, Fahri meluncurkan situs (www.bersamafh.com) untuk membantah penjelasan resmi DPP PKS ihwal pemecatan dirinya dari seluruh jenjang keanggotaan. Itu mirip dengan Yusuf Supendi yang menerbitkan buku “Menggugat Elite PKS” (2011). Bahkan, lebih luas efek negatifnya karena Fahri memanfaatkan posisi politik dan jaringan media internet.
Rekonstruksi yang dibangun Fahri berdasar keyakinan: ‘Saya tidak bersalah’ (I am not guilty). “Saya sedang menjalankan tugas negara sebagai wakil rakyat, setiap omongan saya dilindungi konstitusi. Permintaan agar saya mundur dari jabatan Wakil Ketua DPR RI sungguh-sungguh melanggar mandat publik. Apalagi desakan itu bersifat pribadi (Ketua Majelis Syura PKS), dan ada indikasi PKS ditekan oleh pemerintah yang saya kritisi,” begitu narasi besar (grand narrative) yang ingin disebarkan Fahri. Banyak pihak percaya, termasuk media massa yang membutuhkan kontraversi untuk menaikkan rating.
Agar imaji ketidakbersalahan (innocence) itu semakin merasuk di benak publik, Fahri mengulik mekanisme internal PKS yang jarang disorot publik. Sebenarnya partai politik lain juga tidak mengumbar dinamika internal antar elitenya, namun wartawan sesekali dapat menerobos dengan sumber anonim. Uniknya dalam hal PKS, Fahri sendiri yang membongkar ‘jeroan’ PKS, tentu saja dengan sentimen pejoratif. Sementara Fahri menampilkan diri putih-bersih agar otomatis dipersepsi sebagai pembawa perubahan dalam tubuh PKS, yang kini tersingkir (playing the victim).
Dengan cerdik, Fahri melemparkan kesalahan kepada pengurus DPP PKS yang ditudingnya telah membocorkan isu pemeriksaan dirinya oleh BPDO (Badan Penegak Disiplin Organisasi). Dua orang pengurus teras PKS disebut Fahri secara verbatim, Mardani Ali Sera (mantan Wakil Sekjen, kini Ketua DPP Bidang Kepemudaan) dan Almuzammil Yusuf (Ketua DPP Bidang Polhukam). Padahal, keduanya ditodong wartawan saat acara jumpa pers dan talk show di tempat terpisah. Kedua pengurus itu tak tahu apa-apa tentang proses pemeriksaan Fahri karena BPDO bekerja secara tertutup untuk menghindari intervensi dari siapapun. Kedua pengurus yang lebih senior dari Fahri itu, hanya merespon pertanyaan media sekadarnya. Tapi, reaksi Fahri atas pemberitaan media yang menyorot statusnya, sangat berlebihan, sehingga justru membuka aib sendiri.
Fahri sendiri yang mengungkap peristiwa pertemuan dirinya dengan Ketua Majelis Syura, pemimpin puncak dalam organisasi PKS! Fahri sendiri yang membuka subtansi percakapan mereka berdua dan kemudian beropini bahwa arahan Ketua MS (Salim Segaf al Jufri) adalah permintaan pribadi, sehingga bisa dibantah dan tidak mesti ditaati! Fahri juga yang mengungkapkan argumen bahwa jabatan Wakil Ketua DPR RI bersifat mandat dari publik, sehingga tak bisa dicopot sembarangan atas usul pimpinan Partai. Bahkan, kemudian Fahri berbicara lebih detail tentang upaya untuk shalat istikharah (entah dilema apa yang sedang dihadapi) dan konsultasi dengan penasehat hukum tata negara (mungkin juga termasuk penasehat politiknya, yang digaji dengan uang rakyat!). Fahri telah membocorkan sendiri proses pemeriksaan atas dirinya, bukan orang lain.
Berdasarkan kronologi yang terpublikasi via situs BersamaFH, Fahri membeberkan sikap aslinya:
1. Fahri mengakui telah melakukan 5 (kali) pertemuan dengan Ketua MS sejak sidang Majelis Syura PKS (9-10 Agustus 2015) yang antara lain memutuskan proses regenerasi kepemimpinan. Anehnya, pertemuan pertama yang diakui Fahri berlangsung pada 10 Oktober 2015. Jadi, selama dua bulan (Agustus-Oktober 2015), Fahri ‘ngapaian aja!’, kata orang Betawi. Sebagai kader PKS yang mendapat amanat jabatan publik, apa tidak merasa perlu melapor kepada Pimpinan baru yang menggariskan visi “Berkhidmat untuk Rakyat”? Apa Fahri tidak berinisiatif meng-update konstelasi politik mutakhir pasca Pilpres 2014 dan konfigurasi kekuatan di DPR/MPR RI serta isu-isu strategis yang relevan dengan kepentingan PKS?
Fahri memilih bersikap pasif, menunggu panggilan atau kunjungan Pimpinan PKS, sambil bebas bermanuver saat kepengurusan baru melakukan konsolidasi internal. Posisi Fraksi PKS di DPR/MPR kala itu masih dipertimbangkan, apakah akan di bawah kendali DPP seperti periode sebelumnya? Akhirnya diputuskan Presiden PKS akan mengarahkan langsung Ketua Fraksi PKS dan selanjutnya Ketua FPKS mengendalikan para anggota sesuai dengan bidang tugasnya. Sebagian anggota FPKS ada yang ditugaskan menjadi pengurus DPP, MPP atau DSP periode 2015-2020. Sedangkan Fahri dan beberapa anggota FPKS memiliki beban berat di parlemen, sehingga belum diberi tugas kepartaian.
Presiden PKS (M. Sohibul Iman) telah memberi arahan kepada Ketua Fraksi PKS di DPR (Jazuli Juwaini) tentang kebijakan baru Partai pasca Munas 2015. Ketua FPKS diminta mengendalikan seluruh anggota FPKS agar sejalan dengan garis kebijakan Partai. Entah mengapa, Fahri dinilai paling sulit berkoordinasi. Fahri sering mengeluarkan pernyataan dan mengambil tindakan pribadi, tanpa konsultasi dengan Pimpinan Fraksi atau Partai, dan semua orang diminta memahami pernyataan/ tindakan yang telanjur dilakukannya. Akhirnya publik menyaksikan sikap Fahri yang berseberangan dengan Hidayat Nur Wahid (Wakil Ketua Majelis Syura PKS, sekaligus Wakil Ketua MPR RI), Sohibul Iman (Presiden PKS) dan Ketua/Anggota FPKS lain. Publik yang menyaksikan kontraversi elite PKS dibuat bingung: mana sikap resmi PKS terhadap masalah-masalah krusial kebangsaan? Kontraversi telah dibangun Fahri sejak, sehingga menjadi trade mark dirinya di panggung publik.
Semula diharapkan masalah itu dapat diselesaikan Fraksi PKS. Ternyata sulit, karena Fahri merasa lebih tinggi posisinya dari anggota FPKS yang lain. Akhirnya, Pimpinan (DPTP PKS) memanggil Fahri pada 1 September 2015 (sesuai SMS yang dikirim Sekretaris Majelis Syura PKS, Untung Wahono, jadi bukan tanggal 10 Oktober 2015 seperti pengakuan Fahri), untuk memaparkan arah kebijakan baru PKS. Fahri menyatakan siap mempelajari dan menyesuaikan diri. Terang dan jelas di situ, bahwa arahan Pimpinan bukan pendapat pribadi Ketua MS karena Salim Segaf tidak punya kepentingan dan persoalan personal dengan Fahri. Cucu pendiri organisasi Al-Khairat itu memulai tradisi positif dengan membahas kontraversi pejabat publik PKS secara kolektif (rapat DPTP) dan mengajak pihak yang bersangkutan untuk berdialog. Pada masa sebelumnya, Ketua MS bisa mengambil kebijakan sepihak dan memerintahkan langsung, sesuai dengan ketentuan AD/ART PKS yang menempatkan Ketua MS dalam posisi khusus. Seperti klaim Fahri sendiri, sebagian sikap kerasnya di masa lalu atas dasar perintah pimpinan (lama). Entah benar, atau tafsiran pribadi Fahri.
Tapi saat ini, Fahri menganggap arahan Ketua MS (sekaligus Ketua DPTP) hanya bersifat pribadi dan pertemuan DPTP itu sebagai forum curhat yang tidak mengikat. Bisa dibayangkan, betapa kontradiksi pemahaman Fahri terhadap posisi kepemimpinan PKS, dan terdedahkan pula syahwat pribadi Fahri atas jabatan Wakil Ketua DPR RI. Fahri merasa lebih tinggi dari Pimpinan PKS karena mendapat amanat publik (pilihan rakyat NTB) dan sering menyebut jabatan Wakil Ketua DPR RI adalah hasil lobi politik Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen. Karena itu, dia bebas berbicara dan bertindak apa saja. Tidak ada yang bisa membatasi ruang gerak/bicaranya, sebab dia sudah merasa paham betul UUD RI dan bahkan (menyatakan berulang-kali) ikut menyusun UU MD3 dari A sampai Z.
Bila dicermati, pertemuan perdana DPTP PKS dengan Fahri (1/9/2015) tidak membahas sama sekali jabatan politik atau status keanggotaan Fahri. Yang ditekankan: apakah Fahri (sebagai pejabat publik dari PKS) memahami arah kebijakan baru PKS pasca Majelis Syura (yang kemudian dikuatkan dalam Amanat Munas 2015)? Fahri menyatakan siap mempelajari dan diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri.
Namun, setelah satu bulan berlalu kontraversi semakin menjadi-jadi. Berbagai isu datang silih-berganti di tengah proses konsolidasi Partai. Para pengamat yang obyektif dan meneropong masalah secara kontekstual, dapat membayangkan kerepotan yang dihadapi Pimpinan PKS saat itu. Konsolidasi yang sedang dibangun telah dirusak oleh pernyataan dan tindak pribadi seorang kader yang kebetulan menduduki jabatan publik. Karena itu, DPTP memutuskan untuk memanggil kembali Fahri (10 Oktober 2015): sekadar menanyakan apakah Fahri benar-benar siap untuk beradaptasi dengan kebijakan baru dan bagaimana realisasinya? Fahri mungkin merasa selama ini diberi kebebasan seluas-luasnya, bahkan jika berbeda dengan sikap resmi Partai, tetap dibiarkan berlenggang aman. Sekarang sepak terjangnya dinilai negatif.
Pada pertemuan berikutnya (23 Oktober 2015), ketika ditegaskan arahan Pimpinan, tetiba Fahri menyatakan “sebagai jundi (prajurit) saya akan taat dan siap ditugaskan sebagai apa saja”. Tidak ada permintaan mundur, saat itu. Fahri sendiri yang menyatakan siap mundur apabila tindakannya dianggap tidak sejalan dengan kebijakan Partai, tapi minta waktu sampai pertengahan Desember 2015.
Sikap itu “dipuji” Pimpinan PKS dan menyatakan Fahri sebagai “salah satu kader terbaik PKS”. Karena Pimpinan PKS saat itu “percaya” bahwa Fahri mengucapkan pernyataannya dengan jujur, tanpa tekanan dari siapapun, dan akan menepati janji tersebut. Tapi pujian dan kepercayaan Pimpinan PKS ternyata diputarbalikkan oleh Fahri, dengan keyakinan aslinya: “Saya tidak bersalah, lalu mengapa saya harus mundur?”. Jadi, Fahri bergulat dengan pikiran dan pernyataannya sendiri. Dia merekonstruksi pertemuan, arahan dan kebijakan Pimpinan dengan kerangka konspirasi: ada oknum internal PKS yang ingin mendepaknya dari kursi Wakil Ketua DPR RI dan berkolaborasi dengan tekanan eksternal dari penguasa.
Pertanyaan Fahri kepada Ketua MS menunjukkan hal itu, sehingga ditegaskan: tidak ada tekanan dari manapun. Fahri masih menafsirkan jawaban Ketua MS sebagai keraguan. Padahal, justru karena tidak terpikirkan sama sekali dan memang tidak ada intervensi dari siapapun. Soal masukan dan kritik dari kader PKS dan tokoh masyarakat, Fahri harus tahu: sangat banyak! Sudah terlalu lama Fahri tidak mendengar kritik yang lugas. Kepemimpinan baru PKS tidak mengambil keputusan sepihak, tapi membuka ruang dialog dan menunggu pembuktian komitmen.
Sejak Munas 2015 seluruh Pengurus DPP, MPP, dan DSP PKS telah menyetujui dan menandatangani Pakta Integritas. Bahkan, dalam Mukernas PKS, Pakta Integritas diperluas untuk seluruh Pengurus DPW dan Calon Kepala Daerah PKS yang akan berpartisipasi dalam Pilkada serentak 2015. Sesuai asas persamaan dan non-diskriminasi, Pakta Integritas itu mestinya diterapkan pula kepada anggota DPR RI dan DPRD dari Fraksi PKS, serta kader PKS yang menjadi Kepala Daerah di seluruh Indonesia.
Fahri memanfaatkan celah peraturan yang sedang diperbaiki di masa konsolidasi. Jika Fahri bertanya, mengapa dirinya tak pernah mendapat evaluasi dari Fraksi atau lembagai lain? Maka, jawabnya harus ditanyakan kepada kepemimpinan sebelumnya. Di masa kepengurusan baru PKS, kekosongan aturan di tingkat nasional dengan urgensi tinggi dibahas DPTP. Sebenarnya jika mekanisme organisasi berjalan normal, kontraversi Fahri cukup ditangani pejabat setingkat Fraksi PKS. Tetapi, Pimpinan PKS menghormati disiplin organisasi dan mengapresiasi inisiatif kader, karena itu memberikan kesempatan bagi Fahri untuk membuktikan komitmennya hingga pertengahan Desember 2015. Ketika sudah terbukti bahwa “Fahri tidak mau menyesuaikan diri dengan kebijakan PKS, lalu tidak menaati arahan Pimpinan PKS, dan tidak bisa membuktikan komitmennya sendiri”, maka persoalan diserahkan kepada BPDO. Manakala persoalan sudah masuk ranah BPDO, maka Pimpinan tertinggi sekalipun tidak bisa lagi mengintervensi. Di situ keunikan PKS.
Bersambung ke bagian 2
Sumber ; Selasar.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ternyata ini kebiasaan jorok para artis...

Seni Ketidakmungkinan

PKS SETELAH KEPEMIMPINAN ANIS MATTA